Jurnal TUMBUHAN KIRINYU Chromolaena odorata (L) (ASTERACEAE: ASTERALES) SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI UNTUK MENGENDALIKAN ULAT GRAYAK Spodoptera litura
TUMBUHAN
KIRINYU Chromolaena odorata (L)
(ASTERACEAE: ASTERALES)
SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI UNTUK MENGENDALIKAN
ULAT GRAYAK Spodoptera litura
SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI UNTUK MENGENDALIKAN
ULAT GRAYAK Spodoptera litura
Siam Weed Chromolaena odorata (L) (Asteraceae: Asterales) as a Botanical
Insecticide for Controling Armyworm Spodoptera litura
Insecticide for Controling Armyworm Spodoptera litura
M. Thamrin, S. Asikin, dan M. Willis
Balai
Penelitian Pertanian Lahan Rawa
Jalan Kebun Karet Lok Tabat Utara, Kotak Pos 31, Banjarbaru 70712
Telp. (0511) 4772534, Faks (0511) 4773034,
E-mail: balittra@litbang.deptan.go.id., thamrin_balittra@yahoo.com
Jalan Kebun Karet Lok Tabat Utara, Kotak Pos 31, Banjarbaru 70712
Telp. (0511) 4772534, Faks (0511) 4773034,
E-mail: balittra@litbang.deptan.go.id., thamrin_balittra@yahoo.com
Diajukan:
28 Januari 2013; Disetujui: 24 Juli 2013
ABSTRAK
Kirinyu
(Chromolaena odorata) adalah gulma
berbentuk semak berkayu yang dapat berkembang cepat sehingga sulit
dikendalikan. Tumbuhan ini merupakan gulma padang rumput yang sangat merugikan
karena dapat mengurangi daya tampung padang penggembalaan. Selain sebagai
pesaing agresif, kirinyu diduga memiliki efek allelopati serta menyebabkan
keracunan bahkan kematian pada ternak. Hasil penelitian menunjukkan gulma ini
dapat menjadi insektisida nabati karena mengandung pryrrolizidine alkaloids yang bersifat racun terhadap serangga.
Makalah ini menguraikan potensi tumbuhan kirinyu sebagai insektisida nabati
untuk mengendalikan ulat grayak. Ulat grayak adalah hama yang sulit
dikendalikan karena perkembangbiakannya cepat serta mempunyai kisaran inang
yang luas, yaitu hampir semua jenis tanaman pangan dan hortikultura. Hama ini
biasanya dikendalikan dengan insektisida sintetis dengan dosis melebihi dari
yang ditentukan sehingga menyebabkan resistensi dan resurgensi. Oleh karena
itu, perlu dicari pengganti insektisida sintetis agar penggunaannya dapat
dikurangi dengan menggunakan insektisida nabati. Ekstrak daun kirinyu efektif
mengendalikan ulat grayak dengan mortalitas 80-100% serta menekan tingkat
kerusakan daun kedelai hingga 55,2%. Racun yang terkandung di dalam ekstrak
kirinyu bersifat racun perut. Oleh karena itu, gulma ini perlu dikembangkan
pemanfaatannya sebagai bahan insektisida nabati agar bernilai ekonomis.
Kata kunci: Kirinyu, insektisida nabati,
ulat grayak
ABSTRACT
Siam
weed (Chromolaena odorata) is a woody
shrub weed that can grow quickly so it is difficult to control. This plant is a
pasture weed that can reduce the carrying capacity of the pastures. Beside as
an aggressive weed, C. odorata allegedly
had an allelopatic effect, caused poisoning and death on animals. The weed has
been recognized as botanical insectiside as it contains pryrrolizidine alkaloids that is poisonous for insects. This paper
described the potential of C. odorata as
a botanical insecticide to control armyworms. Armyworm is a pest that is
difficult to control due to the rapid breeding and has a wide host range,
covering almost all
types
of food crops and horticultural crops. This pest is commonly controlled using
excessive pesticides that potentially caused resistance and resurgence on the
pest. Therefore, it is necessary to find out a substitute for synthetic
insecticides by using botanical insecticides. Siam weed leaf extract had been
approved effectively causing mortality on armyworms up to 80-100% and reduced soybean
leaf damage by 55.2%. Active ingredient of the plant extract is a stomach
poison. Therefore, this weed can be utilized as the main ingredient of
botanical insectisides and should be developed in manufacture for economic
value.
Keywords: Siam weed, botanical insecticide,
armyworm
PENDAHULUAN
P
|
estisida sampai saat ini
masih merupakan cara yang dianggap paling ampuh untuk mengendalikan organisme
pengganggu tumbuhan (OPT). Petani masih mengandalkan penggunaan insektisida
sintetis dalam pengendalian hama tanaman dengan alasan mudah didapat dan efektif,
walaupun banyak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan (Kardinan 1998).
Dalam
pengendalian hama terpadu, penggunaan pestisida hendaknya menjadi pilihan
terakhir. Penggunaan pestisida yang kurang bijaksana dapat menyebabkan
pencemaran lingkungan, kematian serangga bukan sasaran, penyederhanaan rantai
makanan alami dan keanekaragaman hayati (Norris et al. 2003 dalam Baliadi
et al. 2012). Insektisida sintetis
juga berdampak negatif terhadap kehidupan serangga, flora dan fauna, serta
kesehatan manusia (Manuwoto 1999). Insektisida sintetis bersifat nonspesifik
atau dapat membunuh organisme bukan sasaran, seperti musuh alami yang harus
dipertahankan keberadaannya (Arinafril dan Muller 1999; Thamrin et al. 1999).
Dampak lain penggunaan
insektisida sintetis adalah terjadinya resistensi hama terhadap insektisida.
Jika populasi hama menjadi resisten terhadap insektisida, maka insektisida
tidak lagi efisien untuk mengendalikan hama tersebut. Jika insektisida tersebut
tetap digunakan,
maka dosis atau frekuensi penggunaannya perlu
ditingkatkan agar pengendalian berhasil. Peningkatan penggunaan insektisida
akan menambah biaya pengendalian, meningkatkan mortalitas organisme bukan
sasaran, dan menurunkan kualitas lingkungan (Laba et al. 1998). Penelitian menemukan adanya residu pestisida dalam
gabah, beras, dan kedelai di berbagai daerah di Jawa dan pada sayuran di Jawa,
Bali, Sumatera, dan Sulawesi. Pada umumnya residu pestisida tersebut masih di
bawah batas maksimum residu (BMR), namun sebagian sudah di atas BMR (Soejitno
2002).
Karena insektisida
sintetis merupakan komponen penting dalam pengendalian hama, perlu dicari
alternatifnya dengan mengembangkan produk hayati yang pada umumnya merupakan
senyawa kimia yang berspektrum sempit terhadap organisme sasaran
(Sastrodihardjo et al.1992).
Alternatif lainnya yaitu memanfaatkan senyawa beracun yang terdapat pada
tumbuhan yang dikenal dengan insektisida nabati. Insektisida nabati secara umum
diartikan sebagai pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuhan yang
bersifat racun bagi OPT, mempunyai metabolit sekunder yang mengandung berbagai
senyawa bioaktif.
Hasil
penelitian menunjukkan ekstrak bagian tanaman ada yang bersifat toksik terhadap
hama (Balfas 1994; Mudjiono et al.
1994). Berbagai jenis tumbuhan juga diketahui mengandung senyawa bioaktif
seperti alkaloid, terpenoid, steroid, asetogenin, fenil propan, dan tanin yang
berfungsi sebagai insektisida dan repelen (Campbell dan Sullivan 1933; Burkill
1935). Sedikitnya ada 2.000 jenis tumbuhan dari berbagai famili yang
menyebabkan pengaruh buruk terhadap OPT (Grainge dan Ahmed 1987; Prakash dan
Rao 1997). Beberapa tanaman yang mengandung senyawa insektisida adalah biji
mimba (mengandung azadirachtin), biji srikaya (annonain), biji bengkuang
(pachyrhizin), dan daun pacar cina yang mengandung racun rokaglamida (Baliadi et al. 2008). Daun serai, bawang merah,
daun cengkih, dan daun dringo juga dapat menekan pertumbuhan dan perkembangan
serangga (Surtikanti 2004).
Prospek
penggunaan pestisida nabati di Indonesia sangat baik karena beberapa hal yang
mendukung pemanfaatannya, yaitu keanekaragaman hayati yang melimpah di
Indonesia, kondisi sosial petani, kemudahan penggunaan khususnya untuk
digunakan sendiri, serta perhatian dari semua kalangan, baik peneliti,
pengajar, penyuluh, dan pihak lain yang terkait (Kardinan 1998). Hasil
penelitian menunjukkan tumbuhan kirinyu memiliki potensi yang baik untuk
mengendalikan ulat grayak (Thamrin et al.
2007).
Ulat grayak Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae) (Gambar 1) adalah hama
serangga yang sulit dikendalikan karena perkembangbiakannya cepat serta
mempunyai kisaran inang yang luas, yaitu hampir semua jenis tanaman pangan dan
hortikultura. Menurut Marwoto dan Suharsono (2008), ulat grayak bersifat
polifag atau dapat menyerang berbagai jenis tanaman,
Gambar 1. Ulat grayak.
yaitu kedelai, cabai,
kubis, padi, jagung, tomat, tebu, buncis, jeruk, tembakau, bawang merah,
terung, kentang, kacang tanah, kangkung, bayam, pisang, dan tanaman hias. Hama
ini tersebar luas di daerah beriklim panas dan lembap dari subtropis sampai
tropis.
Kehilangan
hasil akibat serangan ulat grayak pada tanaman kedelai berumur 30 hari mencapai
28,8% dan pada umur 79 hari mencapai 60,2% (Arifin 1986). Di lahan rawa pasang
surut, kerusakan kedelai yang disebabkan oleh ulat grayak berkisar antara 20-60%, bahkan di beberapa
lokasi lain yang tidak dikendalikan dapat mencapai 80% (Willis et al. 2003). Marwoto dan Suharsono
(2008) mengemukakan kehilangan hasil akibat serangan ulat grayak dapat mencapai
80%, bahkan puso jika tidak dikendalikan.
Tulisan ini menguraikan
potensi tumbuhan kirinyu sebagai bahan utama insektisida nabati untuk
mengendalikan ulat grayak karena diduga memiliki kandungan racun yang cukup
tinggi.
EKSPLORASI
TUMBUHAN PESTISIDA
DI DAERAH RAWA
DI DAERAH RAWA
Bahan alami yang
mengandung senyawa bioaktif pada tanaman dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu
1) bahan alami yang mengandung senyawa antifitopotogenik (antibiotik
pertanian), 2) bahan alami yang mengandung senyawa fitotoksik atau mengatur
tumbuh tanaman (fitotoksin, hormon tanaman, dan sejenisnya), dan 3) bahan alami
yang mengandung senyawa yang bersifat aktif terhadap serangga (hormon serangga,
feromon, antifidan, repelen, atraktan, dan insektisida) (Takahashi 1981).
Eksplorasi terhadap
beberapa jenis tumbuhan di daerah rawa di Kalimantan Selatan dan Tengah memperoleh
122 jenis tumbuhan yang diduga dapat berperan sebagai insektisida (Tabel 1)
(Thamrin et al. 2007).
Tabel 1. Tumbuhan rawa di Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah yang berpotensi sebagai insektisida nabati.
Jenis tumbuhan Bagian
tumbuhan Fungsi/sifat
Akar kuning Akar Obat
hepatitis
Andarasung Daun Penyubur
rambut
Bagang Umbi Berakibat
gatal pada kulit
Bakung hias Daun,
umbi Bau
menyengat
Bakung rawa Daun,
umbi Obat
tidur
Balangkasua habang Daun Bahan
kosmetik (pembersih kulit)
Balangkasua putih Daun Bahan
kosmetik (pembersih kulit)
Bambu kuning Rebung Obat
kanker
Bangkal Daun Bahan
kosmetik (bedak)
Bangkinang Daun,
akar, buah Rasa
sepat
Bawang nyaring Daun Obat
perut
Bawang nyaring kuning Daun Obat
penyakit dalam
Binjai Kulit
batang Berakibat
gatal pada kulit
Cambai Daun Obat
sakit perut
Cawat hanoman Akar Bahan
jamu (kebugaran)
Ciplokan Buah
dan daun Obat
hipertensi
Dadangkak Daun Berakibat
gatal pada kulit
Dadap Daun Obat
infeksi
Daun kancing Daun Obat
sakit gigi
Gadung Umbi Digunakan
sebagai insektisida
Gagali Daun,
umbi Obat
sakit perut
Gambir Kulit/daun Pengusir
nyamuk
Gelam Daun Bau
menyengat
Gulinggang Daun Obat
kulit
Hambawang Getah Berakibat
iritasi pada kulit
Hambin buah Seluruh
bagian Obat
ginjal
Jajangkit Daun,
batang Obat
kulit (gatal)
Jalatang nyiru Daun Berakibat
gatal pada kulit
Jalatang tulang Daun Berakibat
gatal pada kulit
Jalukap Daun Obat
kulit
Jambu hutan Daun,
akar Obat
ginjal
Jengkol Daun Digunakan
sebagai rodentisida
Jeruk bali Kulit Digunakan
sebagai insektisida
Jingah Daun Berakibat
gatal pada kulit
Kacang parang Biji Digunakan
sebagai insektisida
Kacang parang habang Buah Digunakan
sebagai insektisida
Kecubung Daun Obat
penyakit dalam
Kakamalan Daun Bau
menyengat
Kakantutan Daun Obat
sakit perut
Kalabuau Daun Berakibat
iritasi kulit
Kalalayu Daun Tidak
terserang hama
Kalampan Buah Tidak
terserang hama
Kalangkala Daun,
biji Obat
kulit
Kambang tatawa Bonggol Obat
kanker payudara
Kambat Daun Bau
menyengat
Kapuk Batang Digunakan
sebagai rodentisida
Karamunting jawa Daun Obat
kulit
Karatau Daun Obat
disentri
Kasumbawati Daun Obat
hipertensi
Kayu halaban Akar Obat
ginjal
Kayu ilatung Daun Bau
menyengat
Kayu mahar Daun Tidak
terserang hama
Kayu rahwana Seluruh
bagian Bahan
jamu (kebugaran)
Kayu rawali Kulit
batang Bau
wangi
Kayu sapat Daun Obat
sakit perut
Kedondong Daun Tidak
diserang hama
Keladi rawa Daun,
umbi Berakibat
gatal pada kulit
Kembang pukul 4 Daun Digunakan
sebagai insektisida
Kemuning Daun,
bunga Bau
wangi
Kepayang Seluruh
tanaman Digunakan
sebagai insektisida
Kirinyu Daun Obat
luka
Potensi tumbuhan kirinyu
Chromolaena odorata (L) (Asteraceae: Asterales) .... (M. Thamrin
et al.) 115
Tabel
1. Lanjutan..........
Jenis tumbuhan Bagian tumbuhan Fungsi/sifat
Kujajing biji Daun,
buah Obat
kanker
Kujajing laki Daun,
buah Obat
kanker
Kumandrah Daun/buah Obat
sakit perut
Kuranji Daun,
akar, buah Rasa
sangat kecut
Kuringkit Daun Bahan
kosmetik (bedak)
Lada Daun Bahan
rempah
Lakum Daun Obat
kulit (gatal)
Langgundi Daun Pengusir
nyamuk
Lengkuas Rimpang Bahan
jamu
Lua Daun Tidak
terserang hama
Lukut Daun Tidak
terserang hama
Mamali habang Daun Obat
penenang
Mamali putih Daun Obat
penenang
Manggis Kulit
buah Obat
hipertensi
Maritam Kulit Digunakan
sebagai rodentisida
Mata-mata Buah Kebugaran
wanita
Maya Seluruh
tanaman Berakibat
gatal pada kulit
Mengkudu Daun Obat
hipertensi
Mundar Daun,
kulit batang Berakibat
iritasi pada kulit
Panggang Daun Tidak
diserang hama
Papulut Daun Obat
batuk
Patah kajang Daun Obat
nyamuk
Pati ulat Daun Pengawet
ikan
Pepaya hutan Daun Digunakan
sebagai insektisida
Perupuk Daun Atraktan
penggerek batang padi
Pilantus Daun Bau
menyengat
Pinang habang Akar Obat
ginjal
Pinang sindawar Akar Obat
ginjal
Pohon mercon Daun,
bunga Pengusir
nyamuk
Purun tikus Seluruh
bagian Atraktan
bagi penggerek batang
Putat Daun Obat
kulit (gatal)
Raja binalu Seluruh
bagian Obat
hipertensi
Rengas Daun Berakibat
gatal pada kulit
Risi Daun,
bunga Rasa
gatal pada kulit
Rumbia habang Daun Obat
sakit perut
Sambung nyawa Daun Obat
penyakit dalam
Sangkuang Semua
bagian Rasa
sangat asam
Sapang Kulit
batang Obat
hipertensi
Sapang Kulit
dan daun Obat
hipertensi
Sarigading Daun Bahan
jamu (kebugaran)
Sawangkak Daun Obat
kanker
Simakau Daun Bahan
kosmetik (bedak)
Simpur Daun Obat
mata
Sintuk Daun Kebugaran
tubuh
Sirsak Daun Digunakan
sebagai insektisida
Sisik naga Daun Obat
sakit gigi
Suli bulan Daun Obat
penyakit dalam
Sulitulang Seluruh
bagian Obat
sakit perut
Sulur daging Daun Obat
luka
Sungkai Daun Bahan
fermentasi
Tabat barito Daun Bahan
jamu (kebugaran)
Tampurikak Buah Penyubur
rambut
Tatasbihan habang Daun Bau
menyengat
Tatintahan Akar Obat
ginjal
Tatunjuk langit Daun Obat
hipertensi
Tawar Daun Pengusir
wereng hijau
Tembelekan Daun Obat
ginjal
Timbaran Kulit Bahan
pewarna
Timbarau Daun Obat
kejang-kejang
Tuba Akar Digunakan
sebagai insektisida
Usar Akar
dan daun Bahan
pewangi
Sumber: Thamrin et al. (2007).
Tumbuhan
tersebut terdiri atas gulma golongan rumput, teki, dan gulma berdaun lebar
serta tanaman tahunan. Sebagian tumbuhan tersebut belum diketahui nama umumnya
(bahasa Indonesia), sehingga masih menggunakan nama daerah setempat, terutama
dari suku Banjar dan Dayak. Tumbuhan ini pada umumnya berkhasiat sebagai obat,
namun ada pula yang mengandung racun terutama terhadap kulit, dan sebagian lagi
mempunyai bau yang menyengat dan digunakan oleh masyarakat untuk mengendalikan
hama dan penyakit tanaman.
Tumbuhan hasil
eksplorasi tersebut, 17 jenis telah diteliti daya racunnya terhadap hama ulat
jengkal, ulat buah, ulat plutela, dan ulat grayak di Laboratorium Balai
Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tumbuhan kirinyu memiliki daya racun yang tinggi terhadap beberapa jenis hama
terutama ulat grayak, sehingga penelitian difokuskan terhadap tumbuhan
tersebut.
HABITAT
DAN PENYEBARAN
KIRINYU
KIRINYU
Kirinyu
(Chromolaena odorata L. Asteraceae:
Asterales), dalam bahasa Inggris disebut siam
weed, merupakan gulma padang rumput yang penyebarannya sangat luas di
Indonesia. Gulma ini diperkirakan sudah tersebar di Indonesia sejak tahun
1910-an (Sipayung et al. 1991), tidak
hanya di lahan kering atau pegunungan, tetapi juga di lahan rawa dan lahan
basah lainnya (Thamrin et al. 2007)
(Gambar 2).
Kirinyu
berasal dari Amerika Selatan dan Tengah, kemudian menyebar ke daerah tropis
Asia, Afrika, dan Pasifik, dan digolongkan sebagai gulma invasif. Gulma ini
berupa semak berkayu yang dapat berkembang dengan cepat dan membentuk kelompok
yang dapat mencegah perkembangan tumbuhan lainnya sehingga sangat merugikan
karena dapat mengurangi daya tampung padang penggembalaan. Gulma ini merupakan
pesaing agresif dan diduga memiliki efek alelopati, menyebabkan keracunan
bahkan kematian pada ternak, serta dapat menimbulkan bahaya kebakaran
(Prawiradiputra 2007).
MORFOLOGI TUMBUHAN KIRINYU
Tumbuhan
kirinyu memiliki bentuk daun oval dan bagian bawahnya lebih lebar, makin ke
ujung makin runcing. Panjang daun 6–10 cm dan lebarnya 3–6 cm. Tepi daun
bergerigi, menghadap ke pangkal, letaknya berhadapan (Gambar 2). Karangan bunga
terletak di ujung cabang (terminal), dan setiap karangan terdiri atas 20–35
bunga. Warna bunga pada saat muda kebiruan, semakin tua menjadi cokelat. Waktu
berbunga serentak pada musim kemarau selama 3–4 minggu. Pada saat biji masak,
tumbuhan akan mengering kemudian bijinya pecah dan
Gambar 2. Tumbuhan dan bunga kirinyu.
terbang
terbawa angin. Kurang lebih satu bulan setelah awal musim hujan, potongan
batang, cabang, dan pangkal batang akan bertunas kembali. Biji-biji yang jatuh
ke tanah juga mulai berkecambah sehingga dalam waktu dua bulan berikutnya,
kecambah dan tunas-tunas telah terlihat mendominasi suatu area
(Prawiradiputra1985).
Perkembangan
kirinyu sangat cepat dan membentuk komunitas yang rapat sehingga dapat
menghalangi perkembangan tumbuhan lain (FAO 2006). Pada komunitas yang rapat,
kepadatan tanaman bisa mencapai 36 tanaman dewasa/m2 ditambah dengan
sekitar 1.300 kecambah, padahal setiap tanaman dewasa masih berpotensi untuk
menghasilkan tunas (Yadav dan Tripathi 1981). Kemampuannya mendominasi area
dengan cepat disebabkan oleh produksi bijinya yang sangat banyak. Setiap
tumbuhan dewasa mampu memproduksi sekitar 80.000 biji setiap musim (Department
of Natural Resources, Mines dan Water 2006).
Kirinyu
dapat tumbuh pada ketinggian 1.000-2.800 m dpl, sedangkan di
Indonesia banyak ditemukan di dataran rendah (0-500 m dpl) seperti di
perkebunan karet dan kelapa serta di padang penggembalaan (FAO 2006). Tinggi
tumbuhan dewasa dapat mencapai lebih dari 5 m (Departmen of Natural Resources,
Mines dan Water 2006). Batang muda agak lunak dan berwarna hijau, kemudian
berangsur-angsur menjadi cokelat dan keras (berkayu) apabila sudah tua. Letak
cabang biasanya berhadaphadapan dan jumlahnya sangat banyak. Cabangnya yang
rapat menyebabkan cahaya matahati yang masuk ke bagian bawah berkurang,
sehingga menghambat
pertumbuhan
spesies lain, termasuk rumput yang tumbuh di bawahnya.
Tabel 2. Efikasi beberapa jenis ekstrak tumbuhan terhadap mortalitas ulat buah paria (Diaphania indica).
HASIL
PENGUJIAN EFIKASI
|
Perlakuan
|
Mortalitas
(%)
|
Pengujian efikasi
insektisida nabati dari beberapa jenis tumbuhan rawa dimulai sejak tahun 2003
dengan hasil yang beragam. Beberapa jenis tumbuhan yang semula diduga dapat
mengendalikan hama ternyata kurang mampu menunjukkan perannya. Namun, kirinyu
yang digunakan sebagai pakan ulat grayak, dapat menyebabkan semua larva ulat
tersebut mati.
Pada tahun 2004 dan 2005 dilakukan percobaan efikasi
delapan jenis tumbuhan terhadap ulat jengkal dengan pembanding insektisida
sintetis (lamda sihalotrin) dan kontrol. Hasil percobaan menunjukkan bahwa
kirinyu, gelam, kalalayu, cambai, dan sungkai efektif terhadap ulat jengkal
dengan mortalitas 80-85% (Tabel 1). Di antara tumbuhan tersebut,
gelam adalah yang paling efektif terhadap ulat jengkal. Menurut Kardinan
(1998), ekstrak daun gelam mengandung racun saponin, yang secara visual
ditandai dengan munculnya busa bila dikocok. Umbi tanaman gadung, selain
sebagai pil kontrasepsi, juga sering digunakan sebagai bahan pencuci rambut
Tabel 1. Efikasi beberapa jenis ekstrak tumbuhan
terhadap mortalitas ulat jengkal (Plusia
calcites).
Mortalitas
Perlakuan (%)
Kirinyu (Chromolaena odorata) 80
Gelam (Melaleuca cajuputi) 85
Kalalayu (Erigioseum
rubiginosum) 80
Jingah (Glutha rengas) 70
Lukut (Patycerium bifurcatum) 70
Cambai (Piper sarmentosum) 80
Jengkol (Phitecellobium
lobatum) 70
Sungkai (Peronema canescen) 80
Pembanding (lamda sihalotrin) 100
Kontrol
(tanpa dikendalikan) 10
Sumber: Asikin dan Thamrin (2006).
Kirinyu (C. odorata) 80
Gelam (M. cajuputi) 65
Kalalayu (E. rubiginosum) 75
Kepayang (Pangium edule) 80
Maya (Amorphophallus
campanulatus) 65
Pembanding (deltametrin) 100
Kontrol (tanpa
dikendalikan) 10
Sumber: Thamrin et al. (2007).
(sampo) untuk mematikan
kutu kepala karena tingginya kandungan saponin yang bersifat toksik.
Pada
tahun 2006, lima jenis tumbuhan diuji lagi efektivitasnya sebagai insektisida
nabati terhadap ulat buah paria. Ternyata gelam kurang efektif terhadap ulat
buah paria, tetapi kirinyu dan kepayang lebih efektif dengan mortalitas ulat
80% (Tabel 2). Pada percobaan terhadap ulat grayak, ekstrak kirinyu mampu
menyebabkan mortalitas ulat grayak hingga 100% pada 72 jam setelah aplikasi
(Tabel 3). Menurut Biller et al. (1994),
kirinyu mengandung pryrrolizidine
alkaloids yang bersifat racun. Kandungan senyawa ini menyebabkan tanaman
berbau menusuk dan berasa pahit, sehingga bersifat repellent dan juga mengandung alelopati.
Pada
tahun 2007 dilakukan uji efikasi tiga jenis tumbuhan sebagai insektisida nabati
terhadap ulat plutela. Hasil percobaan menunjukkan bahwa kirinyu dan kepayang
menyebabkan mortalitas larva plutela masingmasing 80% (Tabel 4). Menurut
Rumphius (1992) dalam Wardhana
(1997), seluruh bagian tanaman kepayang mengandung asam sianida yang sangat
beracun dan dapat digunakan sebagai bahan pencegah busuk dan senyawa pembunuh
serangga. Selain itu, sifat astiri dari racunnya tidak mengeluarkan bau dan
rasa sehingga produk tanaman yang diperlakukan dengan bahan insektisida nabati
tersebut tetap disukai konsumen.
Tabel 3. Efikasi perlakuan
ekstrak tumbuhan sebagai insektisida nabati terhadap ulat grayak.
Mortalitas (%)
Perlakuan
24 jam 48
jam 72 jam 96 jam 120 jam
Kirinyu (C.
odorata)
|
73,3
|
98,3
|
100,0
|
100,0
|
100,0
|
Gelam (M.
cajuputi)
|
25,0
|
38,3
|
45,0
|
60,0
|
75,0
|
Lukut (P.
bifurcatum)
|
15,0
|
23,3
|
36,7
|
50,0
|
70,0
|
Jingah (G.
rengas)
|
5,0
|
25,0
|
30,0
|
58,3
|
70,0
|
Pembanding (lamda sihalotrin)
|
70,0
|
96,7
|
100,0
|
100,0
|
100,0
|
Kontrol
(tanpa insektisida)
|
0,0
|
0,0
|
0,0
|
5,0
|
10,0
|
Sumber: Thamrin et al. (2007).
|
118
|
J.
Litbang Pert. Vol. 32 No. 3 September 2013: 112-121
|
||
Tabel
4. Efikasi beberapa jenis ekstrak
tumbuhan
|
Tabel 5. Efikasi beberapa jenis ekstrak
tumbuhan
|
||
terhadap mortalitas ulat
plutela.
|
terhadap
mortalitas ulat grayak.
|
||
Mortalitas
|
Mortalitas
|
||
Perlakuan
|
Perlakuan
|
||
(%)
|
(%)
|
||
Kirinyu (C.
odorata)
|
80
|
Kirinyu (C.
odorata)
|
85
|
Kalalayu (E. rubiginosum)
|
70
|
Maya (A.
campanulatus)
|
75
|
Kepayang (P. edule)
|
80
|
Cambai (P.
sarmentosum)
|
75
|
Pembanding (deltametrin)
|
100
|
Sungkai (P. canescen)
|
90
|
Kontrol (tanpa dikendalikan)
|
0
|
Pembanding (lamda sihalotrin)
|
100
|
Kontrol
(tanpa dikendalikan)
|
10
|
||
Sumber: Thamrin dan Asikin (2009).
|
|||
Sumber:
Asikin dan Thamrin (2010).
|
Hasil
uji efikasi insektisida nabati dari empat jenis tumbuhan terhadap ulat grayak
menunjukkan, ekstrak kirinyu dan daun sungkai efektif terhadap ulat grayak
dengan mortalitas masing-masing 85% dan 90% (Tabel 5). Namun hasil pengujian
Samharinto dan Pramudi (2009) menunjukkan, ekstrak daun sungkai hanya mampu
menyebabkan mortalitas larva ulat grayak 31,6%. Karena hasil yang berbeda ini,
maka tumbuhan ini perlu diteliti lebih lanjut. Menurut Dadang dan Prijono
(2008), kandungan bahan aktif tumbuhan yang sama sering beragam, bergantung
pada keadaan geografis daerah asal tumbuhan dan waktu pemanenan bagian tumbuhan
yang mengandung bahan insektisida. Cara penanganan dan ekstraksi juga
memengaruhi keefektifan ekstrak yang diperoleh.
Penelitian
di rumah kasa terhadap kerusakan tanaman kedelai menunjukkan bahwa ekstrak
kirinyu efektif untuk mengendalikan ulat grayak, karena kerusakan tanaman
kedelai yang diberi ekstrak kirinyu hanya 8,3%, sedangkan tanpa pengendalian
kerusakannya mencapai 63,5%. Dengan demikian, penggunaan ekstrak kirinyu mampu
menekan tingkat kerusakan kedelai yang
disebabkan ulat grayak
sebesar 55,2%. Pada minggu ke-1 dan ke-2 setelah infestasi, kerusakan daun
kedelai cenderung meningkat pada semua perlakuan, sehingga dilakukan
penyemprotan kembali sesuai perlakukan, dan satu minggu kemudian, intensitas
kerusakan daun menurun sampai minggu keempat, kecuali pada perlakuan kontrol
(Gambar 3). Hal ini disebabkan mortalitas larva yang tinggi, terutama pada saat
pengamatan keempat, mortalitas larva berkisar antara 90-100% (Gambar 4).
Hasil
percobaan efikasi ekstrak kirinyu, tembelekan (Lantana camara), pilantus (Phyllanthus
urinaria), jambu hutan (Eugenia sp.),
dan insektisida sintetis (lamda sihalotrin) terhadap ulat grayak di
laboratorium menunjukkan ekstrak kirinyu paling efektif terhadap larva ulat
grayak dengan mortalitas 85%, namun belum mencapai 100% seperti insektisida
sintetis (Gambar 5) (Asikin dan Thamrin 2010). Pada hari pertama, larva ulat
grayak belum memperlihatkan gejala keracunan. Gejala keracunan terlihat setelah
larva tersebut memakan daun sawi yang disemprot dengan insektisida nabati;
gerakannya menjadi lambat dan aktivitas makannya berkurang, kemudian warnanya
berubah menjadi
Tingkat kerusakan daun (%)
7 0
Kirinyu
Kirinyu+deltametrin
Deltametrin
Tanpa dikendalikan
1 2 3 4
Waktu pengamatan (minggu
setelah infestasi larva)
Gambar 3. Pengaruh pemberian ekstrak daun kirinyu terhadap intensitas
kerusakan daun kedelai yang disebabkan oleh ulat grayak (Thamrin 2009).
Mortalitas larva (%)
Kirinyu
Kirinyu+deltametrin
Deltametrin
Tanpa dikendalikan
1 2 3 4
Waktu pengamatan (minggu
setelah infestasi larva)
Gambar 4. Mortalitas larva ulat grayak yang dikendalikan dengan ekstrak
kirinyu deltametrin pada tanaman kedelai (Thamrin 2009).
kehitaman. Sampai hari
ketiga sebagian besar larva mati. Hal ini mengindikasikan bahwa kandungan racun
pada tumbuhan kirinyu dan perlakuan lainnya bersifat racun perut terhadap ulat
grayak.
Hasil percobaan
berikutnya yang juga dilakukan di laboratorium menunjukkan bahwa ekstrak
kirinyu paling
Mortalitas larva (%)
100
Kirinyu Tembelekan Pilantus Jambu
hutan
efektif terhadap larva ulat
grayak dengan mortalitas 90% untuk instar 2-3, dan 70% untuk instar 3-4, sedangkan untuk
perlakuan lainnya mortalitas larva berkisar 0-60%, kecuali perlakuan
lamda sihalotrin dengan mortalitas 100% (Tabel 6). Dalam percobaan ini hanya
kirinyu yang efektif terhadap larva ulat grayak, sedangkan tiga perlakuan
lainnya memiliki daya racun yang rendah.
Hasil
percobaan tiga ekstrak tumbuhan kirinyu, cambai, dan sungkai terhadap ulat
grayak menunjukkan, hanya ekstrak kirinyu paling efektif terhadap larva ulat
grayak dengan mortalitas 85% (Gambar 6). Pada penggunaan insektisida BPMC,
mortalitas larva terjadi sejak hari pertama, dan pada hari kedua mortalitasnya
mencapai 100%. Pada perlakuan insektisida nabati, mortalitas larva terlihat
setelah hari kedua dan ketiga, namun setelah hari keempat tidak terlihat larva
yang mati, bahkan larva-larva tersebut berhasil menjadi serangga dewasa (Asikin
dan Thamrin 2010).
Gambar 5. Efikasi beberapa ekstrak tumbuhan terhadap
mortalitas larva ulat grayak (Asikin dan Thamrin 2010).
Tabel 6. Efikasi
perlakuan ekstrak tumbuhan sebagai insektisida nabati terhadap larva ulat
grayak.
|
|||
Perlakuan
|
Bagian tumbuhan
|
Mortalitas larva (%)
|
|
Instar 2-3
|
Instar 3-4
|
||
Sisik naga (Drymoglossum
piloselloides) Kirinyu (C. odorata)
Manggis (Garcinia mangostana) Kalangkala (Litsea sebifera) Pembanding (lamda
sihalotrin) Kontrol (tanpa insektisida)
|
Daun Daun
Kulit buah Biji
-
-
|
60 90 10 20 100
10
|
40 70 10 0 100 0
|
Sumber: Asikin dan Thamrin (2010).
|
Mortalitas larva (%)
100
80
60
40
20
0
Kirinyu Cambai Sungkai BPMC
Gambar 6. Efikasi
beberapa ekstrak tumbuhan terhadap mortalitas larva ulat grayak (Asikin dan
Thamrin 2010)
KESIMPULAN
Kirinyu
adalah gulma semak berkayu yang dapat berkembang dengan cepat sehingga sulit
dikendalikan. Tumbuhan ini merupakan gulma padang rumput yang sangat merugikan
karena dapat mengurangi kapasitas tampung padang penggembalaan. Penyebarannya
sangat luas, termasuk di lahan rawa. Tumbuhan ini diduga memiliki efek
alelopati dan menyebabkan keracunan pada manusia dan ternak, serta dapat
menimbulkan kebakaran.
Ekstrak
daun kirinyu efektif mengendalikan ulat grayak dengan mortalitas 80-100%, serta menekan tingkat
kerusakan kedelai hingga 55,2%. Pryrrolizidine
alkaloids yang terkandung dalam tumbuhan kirinyu memiliki sifat racun.
Selain kirinyu, sungkai, gelam, cambai, kepayang, dan kalalayu juga berpotensi
sebagai bahan utama insektisida nabati.
Prospek
penggunaan pestisida nabati di Indonesia sangat baik dan dapat menjadi pilihan
dalam pengendalian hama karena adanya faktor pendukung seperti kekayaan
keanekaragaman hayati, kondisi sosial petani, kemudahan penggunaan, serta
perhatian dari semua kalangan, baik peneliti, pengajar, penyuluh, maupun pihak
lain yang terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M. 1986. Kerusakan dan hasil kedelai Orba pada
berbagai umur tanaman dan populasi ulat grayak (Spodoptera litura). Seminar Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor.
Arinafril dan P. Muller. 1999. Aktivitas biokimia ekstrak
mimba terhadap perkembangan Plutella
xylostella. hlm. 381-386. Prosiding Seminar
Nasional: Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan
Ekonomis. Perhimpunan Entomologi Indonesia.
Asikin, S. dan M. Thamrin. 2006. Pengendalian hama
serangga sayuran ramah lingkungan di lahan rawa pasang surut. hlm. 73- 86. Dalam M. Noor, I. Noor, dan S.S. Antarlina (Ed). Sayuran di Lahan
Rawa: Teknologi Budi Daya dan Peluang Agribisnis. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.
Asikin, S. dan M. Thamrin. 2010. Pengendalian ulat grayak
(Spodoptera litura) dengan
menggunakan ekstrak bahan tumbuhan liar rawa. hlm. 178-192. Seminar Nasional
Perlindungan Tanaman. Pusat Pengkajian Pengendalian Hama Terpadu Departemen
Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Balfas, R. 1994. Pengaruh ekstrak air dan etanol biji
mimba terhadap mortalitas dan pertumbuhan ulat pemakan daun handeuleum, Doleschalia polibete. hlm. 203-207. Prosiding Seminar Hasil
Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati.
Baliadi, Y., W. Tengkano, dan Marwoto. 2008. Penggerek
polong kedelai, Etiella zinckenella Treitschke
(Lepidoptera: Pyralidae), dan strategi pengendaliannya di Indonesia. Jurnal
Litbang Pertanian 27(4): 113-123.
Baliadi,
Y., Bedjo, dan Suharsono. 2012. Ulat bulu tanaman mangga di Probolinggo:
Identifikasi, sebaran, tingkat serangan pemicu, dan cara pengendalian. Jurnal
Litbang Pertanian 31(2): 77-83.
Biller, A., M. Boppre, L. Witte, and T. Hertman. 1994. Pryrrolizidine alkaloids in Chromolaena odorata. Phytochemistry.
http//www.ens.cau.au//Chromolaena/o/o mod.html. [26 August 2005].
Burkill,
J.H. 1935. A dictionary of economic products of the Malay Peninsulla.
Government of the Straits Settlement, Milbank, London S.W. 340 pp.
Campbell,
F.L. and W.W. Sullivan.1933. The relative toxicity of nicotine, methyl
anabasine and lupinine for culicine mosquito larvae. J. Con. Entomol. 26(3):
910-918.
Dadang
dan D. Prijono. 2008. Insektisida Nabati: Prinsip, pemanfaatan dan
pengembangan. Institut Pertanian Bogor. 163 hlm.
Department of Natural Resources, Mines and Water. 2006.
Siam Weed. Declared no. 1. Natural Resources, Mines and Water, Pesr. Series,
Queensland, Australia. pp. 1-4.
FAO. 2006. Alien
invasive species: Impacts on forests and forestry - A review. http://www.fao.org//docrep/008/j6854e/j6854e00. htm. [25 October 2007].
Grainge,
M. and S. Ahmed. 1987. Handbook of Plants with Pest Control Properties. John
Wiley, New York. 470 pp.
Kardinan,
A. 1998. Prospek penggunaan pestisida nabati di Indonesia. Jurnal Litbang
Pertanian 17(1): 1-8.
Laba, I W., D. Kilin,
dan D. Soetopo. 1998. Dampak penggunaan insektisida dalam pengendalian hama.
Jurnal Litbang Pertanian 17(3): 99-107.
Manuwoto, S. 1999. Pengendalian hama ramah lingkungan dan
ekonomis. Dalam I. Prasadja, M.
Arifin, I.M. Trisawa, I W. Laba, E.A. Wikardi, D. Sutopo, Wiranto, dan E.
Karmawati (Ed). hlm. 1-12. Prosiding Seminar
Nasional Peranan Entomologi dan Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan
Ekonomis. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor.
Marwoto
dan Suharsono. 2008. Strategi dan komponen teknologi pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura Fabricius) pada
tanaman kedelai. Jurnal Litbang Pertanian 27(4): 131-136.
Mudjiono, A., Suyanto, dan W. Prihayana. 1994. Kemampuan
insektisida nabati, mikroba dan kimia sintetis terhadap ulat Plutella xylostella. hlm. 86-90. Prosiding Seminar Hasil
Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati.
Prakash, A. and J. Rao.
1997. Botanical Pesticides in Agriculture. Lewis Publ., Boca Raton.
Prawiradiputra, B.R.
1985. Bahan komposisi vegetasi padang rumput alam akibat pengendalian kirinyu (Chromolaena odorata
(L.)
R.M. King and H. Robinson di Jonggol, Jawa Barat. Tesis, Fakultas Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. 79 hlm.
Prawiradiputra,
B.R. 2007. Kirinyu (Chromolaena odorata (L.)
R.M. King dan H. Robinson: Gulma padang rumput yang merugikan. Bulletin Ilmu
Peternakan Indonesia (WARTAZOA), 17(1): 46-52.
Samharinto, S. dan M.I. Pramudi. 2009. Eksplorasi dan
efikasi tumbuhan rawa yang berpotensi sebagai insektisida nabati terhadap ulat
grayak (Spodoptera litura F.).
Agroscientiae: 2 (16): 124-132.
Sastrodihardjo, S., I.
Ahmad, T. Koesumaningtyas, dan S. Manaf. 1992. Penggunaan Produk alam dalam
pengendalian hama terpadu. PAU Ilmu Hayati ITB, Bandung.
Sipayung, A., R.D. de Chenon, and P.S. Sudharto. 1991.
Observations on Chromolaena odorata (L.)
R.M. King and H. Robinson in Indonesia. Second International Workshop on the
Biological Control and Management of Chromolaena
odorata. Biotrop, Bogor. http://www.ehs.cdu.edu.au/chromolaena/2/ 2sipay. [13 January 2006].
Soejitno,
J. 2002. Pesticide residues on food crops and vegetables in Indonesia. Indones.
Agric. Res. Dev. J. 21(4): 124-132.
Surtikanti. 2004.
Kumbang bubuk Sitophilus zeamais Motsch
(Coleoptera: Curculionidae) dan strategi pengendaliannya. Jurnal Litbang
Pertanian 23(4): 123-129.
Takahashi, N. 1981. Application of biologically natural
products in agricultural fields. pp. 110–132. In M. Wirahadikusumah and A.S Noer (Eds.). Proc. Regional Seminar
on Recent Trend in Chemistry of Natural Product Research. Penerbit ITB,
Bandung.
Thamrin,
M. 2009. Pemanfaatan insektisida nabati asal tumbuhan rawa untuk pengendalian
ulat grayak dan plutela pada pertanaman kedelai dan sayuran di lahan rawa
pasang surut
yang berwawasan
lingkungan. Kerja Sama Kementerian Riset dan Teknologi dengan Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. 14 hlm.
Thamrin,
M., M. Willis, dan S. Asikin. 1999. Parasitoid dan predator penggerek batang
padi di lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan. Dalam Prasadja, I., M. Arifin, I.M. Trisawa, IW. Laba, E.A.
Wikardi, D. Sutopo, Wiranto, dan E. Karmawati (Ed). hlm. 175-181. Prosiding Seminar
Nasional Peranan Entomologi dan Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan
Ekonomis. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor.
Thamrin, M. dan S. Asikin. 2009. Ekstrak tumbuhan yang
berpotensi mengendalikan ulat kubis Plutella
xylostella. hlm. 230-233. Prosiding Seminar
Nasional Perlindungan Tanaman. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Thamrin, M., S. Asikin, Mukhlis, dan A. Budiman. 2007.
Potensi ekstrak flora lahan rawa sebagai pestisida nabati. hlm. 23-31. A. Supriyo, A., M.
Noor, I. Ar-Riza, dan D. Nazemi (Ed). Monograf: Keanekaragaman Flora dan
Buah-buahan Eksotik Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.
Wardhana, A. Gt. 1997.
Penetapan LC 50 Ekstrak pucuk daun kepayang (Pangium edule Rein W.) terhadap ulat pemakan daun kubis (Plutella xylostella Linn.). Skripsi.
Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru.
Willis, M., M. Thamrin, dan S. Asikin. 2003. Evaluasi
status hama utama tanaman palawija di lahan rawa pasang surut. Laporan Hasil
Penelitian, Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Banjarbaru.
Yadav,
A.S. and R.S. Tripathi. 1981. Population dynamic of the ruderal weed Eupatorium odoratum and its natural
regulation. Oikos No. 36. Copenhagen.
Tidak ada komentar: